Kamis, 20 Januari 2011

Tesis Ali Umar Bab II

        BAB II

ULAMA SYATTARIYAH



A. Asal-Usul dan Tantangan Ulama Syattariyah
     
Terminologi “ulama” berasal dari bahasa Arab, dari akar kata ’alima-ya’lamu -
’ilm yang berarti “mengetahui, ahli, atau mahir” (Yunus, 1990:277). Dari akar kata
tersebut lahir kata turunan ’âlim (plural: ’ulamâ’) dalam bentuk ism fâ’il dengan arti
“yang berilmu, alim, yang tahu” (Yunus, 1990:278). Dalam Kamus  al-Marbawiy, kata
’alima - ya’lamu - ’ilm diterjemahkan sebagai “tahu ia, dapat tahu ia akan itu kerja”. Kata
’alîm (dengan madd pada huruf lâm), jama’nya juga ’ulamâ’, diartikan sebagai “yang
mengetahui”, dan kata ’âlim (dengan madd pada huruf ’ain dalam bentuk shifah
musyabbahah, jama’nya juga ’ulamâ) diterjemahkan sebagai “yang berpelajaran, yang
tahu, pandita yang ’alim” (Marbawiy, t.t.:40). Luwîs Ma’lûf al-Yasû’iy menjelaskan arti
kata ’âlim dan ’alîm  itu sebagai berikut: "Al-'âlim (Fâ) jim: 'ûllâm wa âlimûn, wa al-'alîm
jim 'ulamâ': al-muttashif bi al-'îlm" (Yasû'iy, 1977:527) yang artinya: al-’âlim (dalam
bentuk ism fâ’il), jama’nya ’ullâm dan âlimûn, al-’alîm, jama’nya ’ulamâ’ : orang yang
bersifat dengan satu ilmu.

 Dalam Alquran [Arab: al-Qur’ân], penggunaan kata ’ulamâ’ tidak hanya untuk
orang yang ahli dalam agama Islam, kata itu juga digunakan untuk orang yang ahli
agama lain. Pendeta bangsa Israil juga disebut sebagai ’ulamâ’ seperti dalam Alquran
Surat  26 (al-Syu’arâ’) ayat 197 yang artinya: Dan apakah tidak cukup menjadi bukti
bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (YPPPA, 1993:588).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ulama” diartikan sebagai “orang yang
ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam” (Depdikbud, 1990:667).
Penggunaan terminologi seperti ini agaknya tidak salah dan telah diterima secara
umum oleh masyarakat. Sedangkan untuk orang-orang ahli agama selain Islam
digunakan istilah tersendiri, seperti pendeta untuk ulama Kristen Protestan dan pastor
untuk ulama Katholik.( Penggunaan kata pendeta ini dulunya juga tidak mutlak
untuk ulama Kristen Protestan. Kalangan muslim juga pernah menggunakan
kata tersebut untuk gelaran orang alim. Dalam pepatah Minangkabau ada
sebutan “urang malin jo pandito, pakiah sarato malano”. “Malin” agaknya
berasal dari kata Mu’allim (orang yang mengajar, guru), pandito dalam bahasa
Minang sama dengan pandita dalam bahasa Melayu atau pendeta dalam bahasa
Indonesia. Al-Marbawi pun menerjemahkan ’ulamâ’  sebagai “pandita yang
alim” (Marbawiy, t.t.:40).
     
      Dalam realitas kehidupan sehari-hari, ulama juga memiliki pengertian yang
bervariasi. Sekalipun istilah ini sudah diterima, namun dalam kenyataannya terdapat
pula pengertian yang beragam. Perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam
sepanjang sejarah telah melahirkan berbagai cabang disiplin ilmu seperti Tafsir, Hadis,
Fikih, Tasawuf, dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan tersebut, untuk para
ahli dari berbagai disiplin ilmu agama itu juga digunakan terminologi “ulama”, sehingga
ada ungkapan ulama tafsir, ulama hadis,  ulama fikih, ulama tasawuf, dan lain-lain.
     
      Di samping untuk keahlian tertentu, terminologi ulama juga digunakan untuk
orang yang ahli ilmu agama Islam menurut aliran atau madzhab, seperti adanya
ungkapan ulama Sunni, ulama Muktazilah, ulama Syi’ah, ulama Syâfi’iyah, dan
sebagainya. Ungkapan tersebut menunjukkan penisbatan terminologi ulama kepada
aliran teologi atau fikih.
     
      Di Sumatra Barat sebutan untuk ulama juga bervariasi. Ada ulama yang
dipanggil syekh, seperti Syekh Burhanuddin Ulakan yang menyebarkan agama Islam
pada abad ke-17 M. Di akhir abad ke-19 M ada pula seorang ulama Minangkabau yang
menjadi mufti di Masjid al-Haram Makkah yang juga dipanggil “syekh”, yaitu Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Predikat syekh masih digunakan pada awal abad ke-
20 M untuk beberapa ulama seperti Syekh Abdul Karim Amrulllah, Syekh Mohammad
Jamil Jaho, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh
Sulaiman Arrasuli Candung, dan lain-lain. Di samping panggilan syekh, mereka juga
dipanggil “Inyiak” (seperti Inyiak De-er, Inyiak Jambek, Inyiak Jaho, Inyiak Canduang,
dan sebagainya). Jika di Minangkabau “darek” ada panggilan inyiak, maka di pesisir
Pariaman cukup populer pula panggilan ungku atau tuanku. Predikat tuanku masih
bertahan hingga saat ini, setidak-tidaknya di Kabupaten Padang Pariaman dan
beberapa daerah lain yang memiliki keterkaitan dengan paham Syattariyah (Amiruddin,
23 Maret 2007).
      Dalam tesis ini terminologi ulama dinisbatkan dengan terminologi Syattariyah,
dimaksudkan sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam yang mengikuti paham
Syattariyah dalam bertashawuf.  Syattariyah adalah suatu aliran tarekat yang didirikan
oleh Syekh Abdullah Al-Syattar [Arab: ’Abd al-Lâh al-Syaththâr]. Ia berasal dari Asia
Tengah, tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti. Al-Syattar pada mulanya adalah
penganut tarekat ’Isyqiyah, suatu aliran tarekat yang dinisbatkan kepada Abu Yazid Al-
’Isyqi [Arab: Abû Yazîd al-’Isyqiy]. Tarekat ini disebut juga Bisthamiyah, dinisbatkan
kepada Syekh Abu Yazid Al-Bisthami [Arab: Abû Yazîd al-Bisthâmiy]. Tetapi karena
pesatnya pengaruh tarekat Naqsyabandiyah, tarekat ’Isyqiyah mulai pudar (Ensiklopedi
Islam V, 2001:1).
     
      Selanjutnya Al-Syattar pindah ke India dan mendirikan tarekat Syattariyah
sebagai tarekat yang telah berdiri sendiri. Al-Syatttar tetap tinggal di India hingga
wafatnya (1485 M). Tarekat ini berkembang pesat atas usaha keras para khalifah
Syattariyah setelah Al-Syattar, di antaranya adalah Syekh Muhammad Gawts dari
Gwalior (w. 1562 M). Di India tarekat ini sangat inklusif, sehingga banyak penganut
agama Hindu yang bergabung menjadi anggotanya. Di bagian barat India, pernah ritual
keagamaan Syattariyah dilakukan di kuil Syiwa/Buddha (Ensiklopedi Islam V, 2001:1).
     
      Dari India tarekat Syattariyah menyebar pula ke Semenanjung Arabia. Salah
satu tokoh Syattariyah di Arabia adalah Shibghat al-Lâh Ibn Rûh al-Lâh (w. 1619 M)
dan muridnya yang bernama Syekh Ahmad al-Syinnâwi (w. 1619 M di Madinah).
Khalifah berikutnya adalah Syekh Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661 M) dan Mullâ
Ibrâhîm al-Kurâni (w. 1689 M) (Ensiklopedi Islam V, 2001:1).
     
      Tarekat Syattariyah masuk pula ke Aceh, dikembangkan oleh Syekh Abdur
Rauf [Arab: ’Abd al-Raûf], asal dari Singkel (1615-1693 M). Ia menunaikan ibadah haji
tahun 1643 M dan belajar di Arabia selama 19 tahun. Abdur Rauf belajar Tarekat
Syattariyah kepada al-Qusysasyi dan al-Kurâni. Setelah al-Qusyasyi wafat, Abdur Rauf
kembali ke Aceh, pada masa pemerintahan Sultanah Syafi’atuddin Tajul ’Alam. Abdur
Rauf akhirnya diangkat sebagai mufti di Kerajaan Aceh Darussalam (Ensiklopedi Islam
V, 2001:1).
     
      Sebelum Abdur Rauf kembali ke Aceh, konflik dalam kehidupan beragama
sedang berkecamuk. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam,
paham keagamaan yang dijadikan acuan adalah ajaran Syekh Hamzah Fanshuri dan
Syekh Syamsuddin Sumatrani. Setelah Iskandar Muda wafat dan digantikan oleh
Iskandar Tsani, Syekh Nuruddin Ar-Raniri diangkat menjadi mufti. Ar-Raniri
mengeluarkan fatwa sesat terhadap paham keagamaan Hamzah Fanshuri dan
Syamsuddin Sumatrani (Samad, 2000:48). Pengikut kedua ulama itu dikejar-kejar,
pahamnya diharamkan, dan buku-bukunya dibakar (Djoened, 1993:205-206).
     
      Sulltan Iskandar Tsani wafat dan digantikan oleh jandanya yang bernama
Syafi’atuddin, putri mendiang Iskandar Muda. Sultanah Syafi’atuddin lebih toleran
dalam pemahaman keagamaan. Sultanah mengangkat Syekh Abdur Rauf menjadi
mufti kerajaan menggantikan posisi Ar-Raniri pada tahun 1642 (Samad, 2000:49).
Syekh Abdur Rauf menolak cap kafir yang sebelumnya difatwakan al-Raniri terhadap
pengikut-pengikut Fanshuri dan Sumatrani. Nampaknya pemahaman keagamaan
Syekh Abdur Rauf lebih akomodatif dan bersifat rekonsiliasi antara pengikut Hamzah
Fanshuri dan Ar-Raniri (Samad, 2000:43).
      Syekh Abdur Rauf menetap di muara (kuala) Sungai Aceh dan memiliki
pondok pesantren di Kuala,  sehingga ia dikenal dengan sebutan “Syiah Kuala” (Syiah
Kuala maksudnya Syekh yang tinggal di Kuala (muara) Sungai Aceh. Nama ini
kemudian diabadikan menjadi nama sebuah universitas negeri di Banda Aceh, yakni
Universitas Syiah Kuala. (Djoened, 1993:207]. Sebutan "Syiah Kuala" juga digunakan
oleh Alyasa’ Abu Bakar dalam:  “Abd al-Rauf Syiah Kuala: Riwayat Hidup dan Warisan
Ilmiyah”, dalam jurnal Kajian Islam,  Nomor 1 Tahun 1991). Dari pesantren ini kelak
muncul ulama Syattariyah, termasuk Syekh Burhanuddin Ulakan. Syekh Burhanuddin,
nama kecilnya adalah Kanun. Ayahnya bernama Pampak dan ibunya bernama Nilai,
suku Guci, yang berasal dari Batipuh, Pariangan Padang Panjang. Keluarga kecil turun
dari Batipuh menuju rantau Pariaman dan memilih untuk menetap di Sintuk. Pada
waktu itu masyarakat Sintuk masih menganut agama Jahiliyah. Kanun senang
menyendiri dari teman-teman seusianya. Untuk mengisi kegiatan keseharian, Kanun
mengembalakan ternak milik orang tuanya (Maulana. 1993:10-12).
     
      Pada suatu ketika, ia mengembalakan ternaknya sampai ke dekat pantai
Tapakis (kurang lebih 10 km sebelah barat Sintuk). Di sana ia bertemu dengan
seorang remaja yang bernama Idris, asal Tanjung Medan, Ulakan. Melalui Idris, Kanun
mendapat informasi bahwa ada seorang guru yang membawa agama baru, mengajar
di Air Sirah, Tapakis. Guru itu bernama Syekh Abdullah Arif, yang baru datang dari
Arabia. Kanun kembali ke kampungnya dengan segera untuk mengemukakan
keinginannya mempelajari agama baru tersebut kepada kedua orang tuanya. Orang
tuanya mengizinkan, Kanun berangkat menuju Tapakis. Setelah beberapa lama
belajar dengan Syekh Abdullah Arif, Kanun diberi gelar Pakih Pono. Masa belajarnya
di Tapakis sangat singkat, karena Syekh Abdullah Arif meninggal dunia. Sebelum
meninggal dunia, syekh ini menyarankan kepada Pakih Pono agar melanjutkan
pelajarannya ke Singkel, Aceh Selatan. Di sana ada guru agama yang baru pulang
dari Arabia, namanya Syekh Abdur Rauf (Maulana, 1993:12-16).
     
      Pakih Pono berangkat menuju Singkel. Di tengah jalan, ia bertemu dengan
empat orang yang juga mempunyai maksud yang sama. Akhirnya mereka berlima
berangkat menuju Singkel, tempat Syekh Abdur Rauf mengajar. Tetapi setelah
mereka sampai di Singkel, diperoleh informasi bahwa Syekh Abdur Rauf telah pindah
ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam, karena beliau diangkat sebagai mufti oleh
Sulthanah Syafi’atuddin Tajul ’Alam. Dengan susah payah, lima orang pemuda dari
Minangkabau ini sampai juga di Kuala, tempat tinggal dan tempat mengajar Syekh
Abdur Rauf yang baru (Maulana, 1993:16-20).
     
      Setelah genap 30 tahun belajar dengan Syekh Abdur Rauf di Aceh, Pakih
Pono diangkat oleh Syekh Abdur Rauf  menjadi khalifah untuk wilayah Minangkabau.
Pakih Pono diberi gelar Syekh Burhanuddin. Konon gelar ini berasal dari wasiat Syekh
Ahmad al-Qusyasyi kepada Syekh Abdur Rauf sewaktu masih di Madinah. Al-
Qusyasyi telah memprediksi bahwa kelak setelah Syekh Abdur Rauf mengajar di
Aceh, akan datang seorang murid yang kakinya pincang. Murid itu hendaklah diberi
gelar Burhân al-Dîn (Maulana, 1983:69; Enslopedi Islam I, 2001: 261).
     
      Sesuai dengan amanah Syekh Abdur Rauf, Syekh Burhanuddin berangkat
menuju pantai Pariaman ditemani oleh puluhan hulubalang di bawah pimpinan Katik
Sangko (suku Guci, berasal dari Tandikat VII Koto). Pendaratan di Pariaman
mendapat tantangan dari pemuka masyarakat. Akhirnya Syekh Burhanuddin
memutuskan untuk menetap sementara di Pulau Angso. Sedangkan Katik Sangko
tetap bersikeras untuk mendarat dengan paksa di pantai Pariaman. Tantangan datang
dari Basa Nan Balimo di VII Koto, akibatnya perang tak terelakkan lagi. Perang
berakhir dengan kemenangan di pihak Katik Sangko. Ia dapat mengalahkan Kalik-
Kalik Jantan, panglima pasukan Basa Nan Balimo dari VII Koto. Katik Sangko
menetap di kampung halamannya di Tandikek sambil menyebarkan agama Islam di
sanam (Maulana, 1993:36-43).
     
      Syekh Burhanuddin yang menetap sementara di Pulau Angso, berhasil
mengirim pesan melalui para nelayan kepada Idris, teman belajarnya di Tapakis dulu.
Idris menetap di Tanjung Medan, Ulakan. Setelah menerima pesan tersebut, Idris
berusaha mengumpulkan masyarakat Tanjung Medan untuk menjemput Syekh
Burhanuddin. Setelah dicapai kesepakatan, maka Idris dan rombongannya berlayar
menuju Pulau Angso. Setelah sampai di Pulau Angso dan berbicara panjang lebar,
Syekh Burhanuddin dipersilahkan menikmati jamuan yang dibawa oleh rombongan
masyarakat Tanjung Medan. Setelah jamuan makan selesai, Idris mengemukakan
maksudnya kepada Syekh Burhanuddin agar bersedia menetap di Tanjung Medan.
Syekh Burhanuddin menyetujui ajakan tersebut. Maka pulanglah Idris dan
rombongannya bersama-sama dengan Syekh Burhanuddin menuju Tanjung Medan.
Masyarakat Tanjung Medan mendirikan surau sebagai tempat tinggal dan tempat
mengajar untuk Syekh Burhanuddin (Maulana, 1993:43-45).
     
      Tidak berapa lama beliau mengajar di Tanjung Medan, datang pulalah teman-
temannya yang empat orang yang dulunya sama-sama belajar di Aceh. Syekh
Burhanuddin juga meminta masyarakat Tanjung Medan dan Ulakan medirikan empat
buah surau di Padang Silagundi untuk teman-temannya yang empat orang itu
(Maulana, 1993:54-55).
      Di samping mengajar di Surau Tanjung Medan, Syekh Burhanuddin juga tidak
lupa berdakwah, terutama ke Sintuk dan ke Tanah Datar. Setelah  mengembangkan
agama Islam selama 30 tahun, Syekh Burhanuddin berpulang ke rahmatullah. Pada
hari Rabu 10 Shafar 1111 H, Syekh Burhanuddin wafat (Maulana, 1993:100-101).
Sampai sekarang hari wafatnya diperingati setiap tahun oleh umat Islam di Sumatra
Barat, dengan upacara ritual Basafa (Gazalba, 1994:21).
     
      Selanjutnya penyebaran agama Islam dilaksanakan oleh para khalifah Syekh
Burhanuddin. Menurut catatan Imam Maulana, secara berturut-turut para khalifah
Syekh Burhanuddin adalah (1) Syekh Abdur Rahman (2) Syekh Idris, (3) Syekh Abdul
Muhsin, (4) Syekh Habibullah, (5) Syekh Abdul Mujib di Tibarau, (6) Syekh Abdul Habil
(Maulana, 1993:95-97).
     
      Tugas pengembangan agama Islam juga dilaksanakan oleh murid-murid
Syekh Burhanuddin yang lain, di antaranya Syekh Jalaluddin Kapiah-Kapiah
Paninjauan Koto Tuo, Agam. Dari murid-murid generasi selanjutnya yang aktif
melakukan dakwah, terdapat pula nama Syekh Supayang Solok. Syekh Supayang
adalah murid dari Syekh Abdul Wahab Calau, Syekh Abdul Wahab Calau murid dari
Syekh Tibarau, Syekh Tibarau murid dari Syekh Abdurrahman, Syekh Abdurrahman
murid dari Syekh Burhanuddin (Maulana, 1993:97).
     
      Menurut ajaran Syattariyah, seseorang yang ingin mempelajari paham tersebut
harus melewati bai’at terlebih dahulu. Bai’at merupakan tali pengikat antara guru dan
murid, di samping sebagai pertanda bahwa seseorang telah diakui sebagai pengikut
paham Syattariyah. Bai’at itu dilakukan kepada guru yang mempunyai silsilah sampai
kepada Syekh Burhanuddin, Syekh Abdur Rauf, dan syekh-syekh di atasnya dan
sambung-bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Bai’at [Arab: bay’ah]
secara harfiah berarti janji. Dalam Tarekat Syattariyah, seseorang yang ingin
mempelajari tarekat ini harus berbai’at. Mula-mula guru yang akan mengajar tarekat itu
menyuruh calon murid untuk: (1) berwudhu’, (2) bertaubat, (3) berjabat tangan dengan
guru dan semua hadirin, (4) menghantarkan tangan kanan ke bumi, guru meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kanan murid, (5) Mengikuti lafaz bai’at yang diucapkan
guru berupa ta’awudz, basmalah, Surat Al-Fath ayat 10, Radhitu billahi rabba ... dan
seterusnya, istighfar tiga kali,  tahlil tiga kali, kemudian zikir la ilaha illallah 100 kali,
kemudian berdoa Allahumma khudz minhu wa taqabbal minhu waftah ’alaihi bâba kulli
khairin kamâ fatahtahû ’alâ anbiyâika wa auliyâika wa ’ibâdikash shalihin tiga kali
(Maulana, 1993:128-129]
     
      Silsilah itu dapat dibagi kepada dua: (1) dari Nabi SAW sampai kepada Syekh
Burhanuddin, dan (2) dari Syekh Burhanuddin sampai sekarang. Dalam silsilah
pertama (dari Nabi SAW hingga Syekh Burhanuddin) terdapat 25 nama guru-guru
Syattariyah. Rantai sislilah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Nabi Muhammad SAW
2.    ’Aliy al-Murtadhâ
3.    Husayn al-Syahîd
4.    ’Aliy Zayn al-’?bidîn
5.    Muhammad al-Bâqir
6.    Ja’far al-Shâdiq
7.    Abû Yazîd al-Bisthâmiy
8.    Muhammad al-Maghribiy
9.    Abû Yazîd al-’Isyqiy
10.    Abul Muzhaffar al-Thûsiy
11.    Abu al-Hasan al-Khirqâniy
12.    Al-Khudâqûliy
13.    Muhammad ’?syiq
14.    Muhammad ?rif
15.    ’Abd al-Lâh Al-Syaththâr
16.    Qâdhi Syaththâri
17.    Hidâyat al-Lâh Sarmast
18.    Hâji Hudhûri
19.    Muhammad Ghawts
20.    Wajîh al-Dîn
21.    Shibghat al-Lâh Ahmad al-Al-Syinnâwiy
22.    Ahmad al-Qusyasyiy
23.    ’Abd al-Raûf Singkel
24.    Burhân al-Dîn Ulakan (Zubir Zubir, tt.:86)
     
      Urutan silsilah di atas sesuai dengan catatan Syekh Abdur Rauf Singkel
dalam bagian penutup bukunya yang berjudul Tanbîh al-Mâsyî (Fathurrahman,
1999:158-161). Rantai silsilah yang sama dapat pula dilihat pada selebaran yang
dikeluarkan Tuanku Syekh Sidi Jalalen dari Pondok Pesantren Madinatul ’Ilmi Buluah
Kasok Sungai Sariak, VII Koto. Dalam silsilah Tuanku Syekh Sidi Jalalen terdapat 38
nama, dengan rincian 27 nama hingga Syekh Burhanuddin dan 11 nama sesudah
Syekh Burhanuddin hingga Syekh Sidi Jalalen. Silsilah ini berbeda sedikit dengan
yang ditulis oleh Tuanku Kuniang Zubir karena Syekh Sidi Jalalen memulai silsilahnya
dari Allah ’Azza wa Jalla, Jibril, dan kemudian dilanjutkan ke Rasulullah SAW.
      Adapun silsilah sesudah Syekh Burhanuddin, ada beberapa versi sesuai
dengan banyaknya murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan paham
tarekatnya. Menurut Tuanku Kuniang Zubir, ada enam orang murid Syekh
Burhanuddin yang mengajarkan tarekat selanjutnya, yaitu: (1) Syekh Abdurrahman
Ulakan, (2) Syekh Janggut Hitam Lubuak Ipuah, (3) Syekh Jalaluddin Kapiah-Kapiah,
(4)  Syekh Basingka Lubuk Minturun, (5) Syekh Mulla Ibrahim Lunang, (6) Qadhi
Padang Gantiang, dan (7) Syekh Idris Ulakan (Zubir,tt:89).
     
      Syekh Janggut Hitam Lubuak Ipuah menurunkan silsilah kepada Syekh
Abdurrahman Lubuak Ipuah, dari Syekh Abdurrahman kepada Syekh Malalo Limo
Puluah, Syekh Malalo Limo Puluah menurunkan silsilah kepada Syekh Aluma Koto
Tuo, dari Syekh Aluma kepada Syekh Kiambang, dan dari Syekh Kiambang kepada
Syekh Mato Aie (Zubir,tt:87).
     
      Syekh Abdurrahman menurunkan tarekat kepada: (1) Syekh Abdul Muhsin,
(2) Syekh Jalaluddin, (3) Syekh Tabbat Yada, (4) Syekh Sulthan al-Kusai atau Syekh
Tibarau (Zubir,tt:89). Sedangkan Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah menurunkan
tarekat kepada murid-muridnya, yaitu: (1) Syekh Malalo Limo Puluah, (2) Syekh Cupak
Solok, (3) Syekh Mato Aie Nan Tuo, (4) Syekh Aluma Koto Tuo, (5) Syekh Cubadak
Aie Pariaman, dan (6) Syekh Galagah Padang Magek (Zubir,tt:90).
     
      Di samping itu ada pula silsilah yang tidak melalui Syekh Burhanuddin, tetapi
melalui Syekh Muhammad Saman, Syekh Haji Hatari, Syekh Lunto, Syekh Kolok,
Syekh Alim Kana, Syekh Aminullah, Syekh Aluma Koto Tuo, Syekh Kiambang, dan
berakhir pada Syekh Mato Aie (Zubir,tt:88).
     
      Syekh Aluma Koto Tuo menurunkan tarekat kepada: (1) Syekh Kiambang, (2)
Syekh Tuanku Panjang Sungai Sariak, (3) Syekh Abuya Kabun Tapakis, (4) Tuanku
Mansur, (5) Ungku Muhammad, dan (6) Ungku Haji Ismail. Syekh Tibarau
menurunkan silsilah kepada: (1) Kadhi VII Koto Nan Tuo, (2) Syekh Malalo Limo
Puluah, (3) Syekh Ahmad al-Kusai, (4) Syekh Balinduang Pilubang, (5) Syekh Jurak
Limau Puruik, (6) Syekh Surau Gadang Koto Marapak, (7) Syekh Abul Abbas Parit
Malintang, (8) Syekh Surau Panjang Gasan, (9) Syekh Abdul Wahab Calau, dan (10)
Syekh Talawi Padang Gantiang(Zubir,tt:191).
     
      Syekh Ahmad Al-Kusai menurunkan silsilah kepada: (1) Syekh Bintungan
Tinggi, (2) Syekh Kapalo Koto, (3) Syekh Pondok Gadang, (4)xSyekh Haji Harun
Lubuak Aluang, (5) Syekh Angku Tuo Surau Gadang. Syekh Talawi menurunkan
silsilah kepada: (1) Syekh Muhammad Yasin Tanjuang Ampalu, (2) Syekh Muhammad
Yatim Ampalu Tinggi, (3) Syekh Ungku Kaciak Duku Banyak, dan (4) Ungku Tampuah
Kalawi (Zubir,tt:191).
     
      Syekh Balinduang menurunkan silsilah kepada: (1) Syekh Talang Koto
Bangko, (2) Syekh Sungai Rantai Kubuang, (3) Syekh Angku Kuniang Kubu. Syekh
Calau menurunkan silsilah kepada Syekh Supayang Solok. Syekh Mato Aie Nan Tuo
menurunkan silsilah kepada Syekh Bayang Salido dan Syekh Kamumuan. Syekh
Kamumuan menurunkan silsilah kepada Abuya Ungku Andah Pakandangan. Syekh
Muhammad Yasin menurunkan silsilah kepada Syekh Angku Lubuak Pua (Zubir,tt:92-
93).
     
      Syekh Muhammad Yatim Ampalu Tinggi menurunkan silsilah kepada:
(1)xSyekh Suruaso Batusangkar, (2) Syekh Muhammad Yunus Sasak, (3)xSyekh
Ungku Sidi Talur, (4) Syekh Malin Bayang Sijunjung, (5) Syekh Ungku Saliah Kiramat,
(6) Syekh Ungku Kalumbuak, (7) Syekh Haji Ibrahim, (8) Syekh Ungku Nurbai, (9)
Syekh Ungku Inuah Guguak Ampalu, dan (10)xSyekh Haji Yahya Angku Piliah
(Zubir,tt:92-93).
     
      Sedangkan nama guru-guru antara Syekh Burhanuddin dan Syekh Sidi
Jalalen adalah: (1)xSyekh Ibrahim Padang Gantiang, (2) Syekh Angku Kandang Biju
Talang, (3) Syekh Sawah Liek Kinaro Solok, (4) Syekh Khili Salayo, (5) Syekh Khasik
Sumani, (6) Syekh Sumani, (7) Syekh Cupak, (8)xSyekh Talawi, (9) Syekh
Muhammad Yatim Mudiak Padang, (10) Syekh Sidi Thawaf Sungai Sariak, dan (11)
Syekh Sidi Jalalen Sungai Sariak.
     
      Dengan demikian, terminologi ulama Syattariyah berarti ulama yang mengikuti
paham Syattariyah dalam tasawuf. Sekalipun ungkapan kurang dikenal di lingkungan
ulama Syattariyah, namun perlu digunakan sebagai sebuah terminologi untuk
mengidentifikasi kelompok tersebut dalam penelitian ini.
     
      Dalam perjalanan sejarahnya, ulama Syattariyah telah melakukan islamisasi
masyarakat Minangkabau selama satu setengah abad. Selama itu pula paham
Syattariyah memegang hegemoni keagamaan di tengah masyarakat. Hegemoni
paham Syattariyah dapat bertahan hingga pertengahan abad ke-19 M. Pada
permulaan tahun 1850-an masuk pula paham Naqsyabandiyah, yang dibawa oleh
Syekh Ismail al-Khalidi dari Makkah (Bruinessen, 1992:98).
     
      Masuknya paham Naqsyabandiyah membawa berbagai perubahan dalam
pemahaman dan amaliyah keagamaan masyarakat Minangkabau. Ulama yang
mengikuti paham Naqsyabandiyah mengkritik sistem keagamaan ulama Syattariyah.
Ada tiga masalah yang dijadikan sasaran kritik ulama Naqsyabandiyah, yaitu: (1)
Masalah kiblat masjid ulama Syattariyah yang tidak tepat, (2) Bacaan lafazh Arab
bacaan shalat ulama Syattariyah yang kurang sesuai dengan makhraj-nya yang benar,
dan (3) Keterlambatan ulama Syattariyah dalam memulai dan mengakhiri puasa
Ramadhan (Latif, 2001:49; Damami, 2000:126). Tiga masalah ini menyebabkan
terpecahnya masyarakat menjadi dua kelompok, pengikut paham Syattariyah dan
pengikut paham Naqsyabandiyah. Perpecahan ini mendorong munculnya masjid yang
baru dalam beberapa kampung, terpisah dari masjid yang lama. Paham
Naqsyabandiyah cukup mendapat sambutan di Minangkabau darat, yang
mengakibatkan terdesaknya paham Syattariyah yang berpusat di Ulakan (Bruinessen,
1992:101).
     
      Perbedaan ajaran antara paham Syattariyah dan paham Naqsyabandiyah itu
membawa momentum baru.  Martin van Bruinessen menyebut Ulakan sebagai pusat
agama konservatif yang menganut paham Syattariyah, sedangkan Cangking lebih
cenderung memurnikan agama yang kemudian menjadi pusat paham
Naqsyabandiyah. Pengikut Naqsyabandiyah menamakan dirinya kaum muda,
sedangkan ulama Syattariyah disebut sebagai ulama adat (Schrieke, 1973:27).
     
      Di wilayah pesisir Pariaman juga muncul paham Naqsyabandiyah, diajarkan
oleh Syekh Daud yang berasal dari Sunur. Syekh Daud mengkritik paham Wahdatul
Wujud [Arab: Wahdat al-Wujûd] yang dikembangkan oleh Tuanku Lubuk Ipuah,
pendukung paham Syattariyah Ulakan. Syekh Daud melancarkan kritiknya dalam
bentuk syair. Dalam karyanya yang berjudul “Syair Makkah dan Madinah”, ditemukan
bait-bait sebagai berikut.

Sungguhpun satu baginya firak
Bukan ittihad pada segenap pihak
Wahid-Nya dan kaim Jumat tidak
Mustahil-lah pula dalam khalayak

Martabat tujuh masa sekarang
Di negeri Makkah sudah dilarang
Berapa kitab sudah dibuang
Ahlinya tidak muftinya jarang

Mufakat Ulama Makkah-Madinah
Demikian lagi Masir dan Kufah
Martabat tujuh sekarang tertegah
Menuntut dia akhirnya salah (Suryadi, 2001:83-84).
      
      Dalam syair di atas, Syekh Daud mengkritik paham Wahdatul Wujud  yang
dianut oleh Syekh Lubuak Ipuah. Syekh Daud menyebut ulama Syattariyah sebagai
penganut paham ittihad yang beranggapan bahwa berbagai firak [keragaman]
merupakan satu kesatuan dengan Pencipta. Pengikut paham ini tidak melaksanakan
shalat Jumat, dan ajarannya yang disebut “Martabat Tujuh” yang telah dilarang di
Timur Tengah. Pertarungan antara dua orang ulama ini akhirnya dimenangkan oleh
Tuanku Lubuak Ipuah. Ketika Syekh Daud pergi ke Makkah, Tuanku Syekh Lubuak
Ipuah dengan bantuan ninik mamak Nagari Sunur, berhasil mempersunting putri
Tuanku Syekh Daud yang bernama Umi Salamah menjadi istrinya (Suryadi, 2001:85).
     
      Di samping paham Naqsyabandiyah, paham Wahabi pun masuk pula ke
Minangkabau pada abad ke-19 M. Paham ini dibawa dan dikembangkan di
Minangkabau oleh tiga orang haji yang kembali dari Makkah, yaitu Haji Miskin, Haji
Sumanik, dan Haji Piobang. Paham ini mendapat sambutan dari delapan ulama
Minangkabau yang kelak menjadi tokoh dalam Perang Paderi dan terkenal dengan
sebutan Harimau Nan Salapan. Ada di antara murid Tuanku Mansiangan Nan Tuo
yang sangat radikal dalam memberantas bid’ah dalam sistem keagamaan lama, yakni
Tuanku nan Renceh. Ide Tuanku Nan Renceh mendapat sambutan dari delapan orang
ulama dari Agam, yaitu (1) Tuanku Nan Renceh dari Bancah Kamang, (2) Tuanku
Lubuak Aue dari Candung, (3) Tuanku Barapi dari Bukit Candung, (4) Tuanku Padang
Laweh dari Banuhampu, (5) Tuanku Padang Lua, (6) Tuanku Galuang dari Sungai
Pua, (7) Tuanku Biaro, dan (8) Tuanku Kapau. Karena jumlahnya delapan maka
terkenallah sebutan Harimau Nan Salapan [Adrianus Chatib, 2003: 190].
      Gerakan Harimau Nan Salapan berkembang menjadi kekuatan radikal yang
sangat keras menentang praktek adat Jahiliyah yang tidak sesuai dengan agama,
seperti main judi, menyabung ayam, minum tuak, dan lain-lain. Akibatnya, konfrontasi
dengan kaum adat tak terelakkan, meletuslah Perang Paderi. Perang ini berakhir
dengan kemenangan kaum adat yang dibantu oleh Kompeni Belanda. Dalam
menghadapi Kaum Paderi, ulama Syattariyah mengambil sikap yang berseberangan
dengan gerakan tersebut. Haji Miskin dimusuhi oleh pemuka-pemuka
Syattariyah di kampung halamannya maupun di Koto Laweh, tempat
kediaman Syekh Jalaluddin murid Syekh Burhanuddin yang bersimpati pada
Gerakan Paderi. Syekh Jalaluddin yang dikenal sebagai Tuanku Mansiangan
Nan Tuo meninggalkan paham Syattariyah dan berpindah ke paham
Naqsyabandiyah [Adrianus Chatib, 2003: 190].
      Tantangan terhadap paham Syattariyah juga muncul pada awal abad ke-19
M. Seorang pemuda Minangkabau yang bernama Ahmad Khatib berangkat ke Makkah
untuk mendalami ilmu agama. Ia berhasil menjadi imam di Masjidil Haram, yang
dikenal sebagai Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Syekh Ahmad Khatib secara
terang-terangan menentang pembagian pusaka secara matrilinial menurut adat
Minangkabau. Di samping itu, ia juga menganggap bid’ah beberapa praktek tarekat
Naqsyabandiyah dan Syattariyah yang ada pada waktu itu. Di Makkah, banyak
pelajar-pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu kepada ulama ini.
      Tantangan itu kian terasa setelah murid-murid Syekh Ahmad Khatib kembali
ke Minangkabau dan aktif di tengah masyarakat. Di antara murid-murid Syekh Ahmad
Khatib yang terkenal ialah Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, Syekh Muhammad
Khatib Ali Padang, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Muhammad Jamil Jambek,
Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Karim Amrullah, dan Syekh Abdullah
Ahmad (Ensiklopedi Islam III, 1999:235).
      Dari murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tersebut  terdapat
pula perbedaan dalam menyikapi tarekat. Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Muhammad
Jamil Jambek, dan Syekh Muhammad Khatib Ali adalah pemuka Tarekat
Naqsyabandiyah. Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Ibrahim Musa Parabek
bersikap netral terhadap tarekat, sedangkan Syekh Abdul Karim Amrullah sangat
keras menentang paham Wahdatul Wujud. Tantangan Syekh Abdul Karim Amrullah itu
jelas mengarah kepada paham Syattariyah di Ulakan. Jika dirunut ke belakang, 
tantangan ini juga memiliki benang merah dengan pertentangan lama antara Surau
Cangking dan Surau Ulakan (antara Naqsyabandiyah dan Syattariyah). Orang tua
Syekh Abdul Karim Amrullah adalah Syekh Tuanku Kisai, yang juga termasuk tokoh
Naqsyabandiyah (Damami, 2000:120.
      Masing-masing murid Syekh Ahmad Khatib yang disebutkan di atas
mendirikan lembaga pendidikan berbentuk surau. Surau Candung, Surai Lampasi, dan
Surau Jaho menjelma menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Surau Jembatan Besi
dan Surau Parabek berubah menjadi Sumatra Thawalib. Pada awal tahun 1920-an,
polarisasi Tarbiyah Islamiyah dan Sumatra Thawalib menjelma menjadi dua kelompok,
tradisionalis dan modernis. Dalam pertentangan paham antara kaum tradisionalis dan
kaum modernis, ulama Syattariyah tidak melibatkan diri. Walaupun antara ulama
Syattariyah dan ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah sama-sama mengikuti paham
Ahlussunnah Waljamaah dan mazhab Syafi’i, namun ada pula beberapa amaliyah
ulama Syattariyah yang tidak disetujui oleh kalangan Tarbiyah Islamiyah (Dhofier:
384).
      Ketika Persatuan Tarbiyah Islamiyah melepaskan diri dari Partai Islam
MASYUMI sebelum mengikuti Pemilihan Umum Tahun 1955 dan berdiri sebagai partai
politik tersendiri, ulama Syattariyah mendirikan pula sebuah partai lokal yang diberi
nama PEMSYI (Persatuan Muslimin Syattariyah Indonesia) yang juga merupakan
partai politik lokal yang berdiri sendiri di Sumatra Tengah (Ahmad Hussein, 1978:
207). Tetapi karena gagal dalam Pemilihan Umum 1955, PEMSYI akhirnya hilang dari
peredaran.
      Selanjutnya pada awal abad ke-20 M masuk pula paham Naqsyabandiyah di
Pariaman. Kegiatan jamaah Naqsyabandiyah dipimpin oleh Syekh Muhammad Jamil
dan berpusat di Masjid Raya Kampung Perak, Pariaman. Syekh Muhammad Jamil
adalah murid dari Tuanku Muhammad, putra Syekh Jalaluddin Tuanku Sami’, ulama
yang menentang paham Wahdatul Wujud yang berpusat di Ulakan (Latief,x:48).
Berbeda dengan tokoh-tokoh Naqsyabandiyah di Minangkabau darek, Syekh
Muhammad Jamil menghindari konfrontasi dengan komunitas Syattariyah, sehingga
dari pihak Syattariyah pun tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap paham
yang dikembangkannya (Abu Bakar Tuanku Mudo: wawancara langsung, 23
Maret 2007).
      Pada waktu Orde Baru mulai berkuasa, menjelang Pemilihan Umum 1971,
ulama Syattariyah dengan dukungan Dewan Pimpinan Daerah Sekber Golongan
Karya Propinsi Sumatra Barat membentuk organisasi massa yang bernama Jamaah
Syattariyah. Organisasi ini dipimpin oleh Tuanku Mudo Ismael dari Koto Tuo. Akan
tetapi, organisasi ini bukanlah organisasi yang tumbuh dari bawah, ia lahir sebagai
mesin politik Orde Baru. Dengan terbentuknya ormas ini, ulama Syattariyah yang tidak
dilibatkan dalam pembentukannya lebih banyak bersikap diam, walaupun  ada yang
menentang, namun tantangan itu tidak terbuka. Sedangkan ulama Syattariyah yang
lainnya berpendapat bahwa mendukung Golongan Karya tidak identik dengan turut
serta menjadi anggota Jamaah Syattariyah (Amiruddin Tk. Bagindo, wawancara
langsung, 24 Maret 2007.
B.  Paham Keagamaan Ulama Syattariyah
      Ulama Syattariyah adalah penganut paham Ahlussunnah Waljamaah [Arab:
Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah] menurut ajaran teologi Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ariy.
Paham selain Ahlussunnah Waljamaah dianggap sesat oleh ulama Syattariyah.
Sehubungan ini, Imam Maulana Abdul Manaf Amin menulis sebagai berikut.
   Adapun Syaikh Burhanuddin dalam menjalankan hukum syari’at Islam adalah
menurut madzhab Syafi’i Rahimahullah Ta’ala dan dalam  beri’tikad adalah
menurut i’tikad kaum Ahli Sunnah Waljamaah, yaitu i’tikad Nabi Muhammad SAW
dan sahabat-sahabat beliau, terutama sekali Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ’Ali
Radhiyallahu ’anhum (Maulana, tt:73).

      Sebagai landasan dari paham Ahlussunnah Waljamaah, Imam Maulana
mengutip hadis Riwayat Thabarani:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِه ،ِ لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى
الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ
وَالْجَمَاعَةِ.
Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad, akan berfirqah umatku nanti
sebanyak tujuh puluh tiga firqah, yang satu masuk surga dan yang tujuh puluh
dua masuk neraka. Bertanya sahabat: “Siapakah yang satu itu ya Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Ialah kaum Ahlussunnah Waljama’ah.

      Selanjutnya Imam Maulana mengomentari terjemahan hadis itu sebagai
berikut:
   Sekarang kalau kita perhatikan perkembangan agama Islam dari abad
pertama sampai kepada zaman sekarang ini, apa yang dikatakan oleh Nabi itu
telah nyata kebenarannya. Kita telah banyak melihat pertikaian paham dalam
peraturan syari’at dan dalam pengamalan tashawwuf maupun dalam i’tikad. Kalau
dalam syari’at telah keluar dari madzhab yang diakui oleh dunia Islam, yaitu
Madzhab Imam Hanafiy, Imam Malikiy, Imam Syafi’iy, dan Imam Hanbaliy. Telah
ada pula madzhab yang kelima, keenam dan seterusnya. Begitu pula dalam i’tikad
telah keluar dari i’tikad yang diakui Nabi, yaitu i’tikad Ahlussunnah Waljamaah,
seperti i’tikad Ibn Taymiyah dan Ibn al-Qayyim yang beri’tikad bahwa Tuhan
duduk di ’arasy....

      Imam Maulana mengutip hadis di atas tanpa sanad. Setelah dicari dalam Al-
Mu'jam al-Kabîr Imam al-Thabarâniy, ternyata ada perbedaan dalam matan hadis. Ada
hadis yang diriwayatkan Al-Thabarâniy yang hampir sama matannya dengan kutipan
Imam Maulana. Matan hadis itu adalah sebagai berikut.
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بن مُحَمَّدٍ الْفِرْيَابِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بن سُلَيْمَانَ بن الأَشْعَثِ السِّجْزِيُّ،
قَالا: حَدَّثَنَا عَمْرُو بن عُثْمَانَ الْحِمْصِيُّ، ح وَحَدَّثَنَا جَبْرُ بن عَرَفَةَ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بن عَبْدِ رَبِّهِ الْجُرْجُسِيُّ، قَالا: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بن يُوسُفَ، عَنْ صَفْوَانَ بن عَمْرٍو،
عَنْ رَاشِدِ بن سَعْدٍ، عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:"افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي
الْجَنَّةِ، وَاثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ هِيَ؟  قَالَ:
"الْجَمَاعَةُ". (رواه الطبراني).
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Ja'far Ibn Muhammad al-Firyâbiy dan 'Abd al-
Lâh Ibn Sulaymân Ibn al-Asy'ats al-Sijziy, keduanya berkata: Diceritakan
kepada kami oleh 'Amr Ibn 'Utsmân al-Himshiy, diceritakan kepada kami
oleh Habr Ibn 'Arafah al-Mishriy, diceritakan kepada kami oleh Yazîd Ibn
'Abd Rabbih al-Jurjusiy, keduanya berkata: diceritakan kepada kami oleh
'Abbâd Ibn Yûsuf, dari Shafwân Ibn 'Amr, dari Rasyîd Ibn Sa'd, dari Awf Ibn
Mâlik ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Umat Yahudi terpecah menjadi
71 golongan, Umat Kristiani terpecah menjadi 72 golongan. Demi Tuhan
yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sunggug akan terpecah umatku
menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga, sedangkan 72 golongan
lagi masuk neraka”. Ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, siapa yang selamat
itu?”. Rasulullah menjawab: “al-Jamâ'ah”. (HR al-Thabarâniy)
     
      Jika dibandingkan antara hadis dalam al-Mu'jam al-Kabîr karya Imam al-
Thabarâniy di atas dengan hadis yang dikutip Imam Maulana, terdapat kesamaan
makna, yakni umat Nabi Muhammad akan terpecah menjadi 73 golongan,
sebagaimana umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan dan umat Kristiani menjadi
72 golongan. Dari 73 golongan umat Nabi Muhammad, hanya satu golongan yang
masuk surga, yang lainnya masuk neraka. Akan tetapi dalam menentukan kriteria
golongan yang selamat itu terdapat perbedaan, dalam hadis yang dikutip dari al-
Mu'jam al-Kabîr dikatakan bahwa golongan yang selamat itu adalah “al-Jama'ah”,
sedangkan dalam kutipan Imam Maulana golongan yang selamat itu adalah
Ahlussunnah Waljamaah. Matan hadis ini agaknya perlu diteliti lebih jauh oleh peneliti
lain, apakah “al-Jama'ah” dalam al-Mu'jam al-Kabîr itu identik dengan “Ahlussunnah
Waljamaah” yang dalam kutipan Imam Maulana.
      Tulisan Imam Maulana di atas nampaknya menegaskan paham Ahlussunnah
Waljamaah dalam akidah dan mazhab yang empat dalam fikih. Imam Maulana secara
tegas juga menyatakan bahwa paham dan mazhab yang benar terbatas pada paham
dan mazhab tersebut, sehingga tidak memungkinkan lahirnya mazhab lain. Selain itu,
mungkin karena ada kesalahan informasi sehingga paham Ibn Taymiyah dianggap
telah keluar dari Ahlussunnah Waljamaah. Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan
lagi dalam masalah ini, apakah Ibn Taymiyah dan Ibn al-Qayyim memang benar-benar
pernah menyatakan “Tuhan duduk di  ’arasy” atau hal itu hanya tuduhan yang
mengada-ada. 
      Untuk kalangan awam, paham Ahlussunnah Waljamaah diberikan dalam
bentuk wirid hafalan yang disebut pengajian Sifat Dua Puluh. Pengajian Sifat Dua
Puluh yang menguraikan tentang sifat-sifat Allah, 20 yang wajib, 20 yang mustahil,
dan satu yang jaiz, serta sifat-sifat Rasul, empat yang wajib, empat yang msutahil, dan
satu yang jaiz, jumlahnya lima puluh. Lalu terkenallah sebuttan “Aqidah Iman yang
Lima Puluh”. Pengajian Sifat Dua Puluh menunjukkan bahwa pengikut paham
Syattariyah adalah penganut paham Ahlussunnah Waljamaah dalam akidah.
      Dalam bidang fikih, ulama Syattariyah mengikuti madzhab Syafi’i. Di surau-
surau [pesantren] salafiyah yang diasuh oleh ulama Syattariyah, kitab fiqih yang dikaji
sejak dari jenjang yang paling rendah hingga jenjang yang paling tinggi seluruhnya
adalah fiqih Syafi’iyah. Kitab-kitab yang diajarkan dan dipelajari adalah Matan Safinat
al-Najâ, Matan al-Taqrîb, Fath al-Qarîb, Fath al-Mu’în, Minhâj al-Thâlibîn, Kifâyat al-
Akhyar, I’ânat al-Thâlibîn, Qalyûbiy, al-Mahalliy, dan lain-lain. Kitab-kitab seperti Subul
al-Salâm, Nayl al-Awthâr, atau Bidâyat al-Mujtahid merupakan sesuatu yang sangat
tabu untuk dibaca, apalagi untuk dipelajari dan diajarkan (Amiruddin Tuanku
Bagindo, wawancara tantang UN 2011).
      Tuanku Kuning Zubir juga menegaskan komitmen ulama Syattariyah terhadap
madzhab Syafi’i  sebagai berikut.
   Imam kita Syafi’i bernama Muhammad, anak oleh Idris, anak Usman, anak
Syafi’, anak Saib, anak Abdu Yazid, anak Hasyim, anak Muthalib, anak Abdu
Manaf. Dan Syafi’i adalah nisbah bagi Syafi’i yang disebutkan di atas. Dan Syafi’
ini masuk Islam, ia dan bapaknya, di waktu peperangan Badar, dia pembawa
bendera Quraisy di waktu ia musyrik. Telah rida Allah darinya. Imam Syafi’i adalah
Imam dari segala imam kerena ilmunya, dan amal dan zuhud dan makrifat dan
kecerdasan dan hafaz dan tinggi bangsanya, maka beliau terdepan dari segala
yang disebutkan itu. Dan beliau melebihi padanya akan kebanyakan orang yang
telah mendahului beliau, apalagi para guru beliau, seperti Imam Malik dan Sofyan
bin ’Uyainah dan para guru mereka dan berkumpul pada diri beliau demikian dari
macam-macam sifat mulia. Dan banyak pengikut pada kebanyakan pelosok di
bumi ini. Apalagi di dua tanah haram, yaitu Mekkah dan Medinah dan bumi Baitul
Muqaddas (Zubir,tt: 63-64). Demikianlah pandangan ulama Syattariyyah
terhadap madzhab Imam Syafi’i yang melebihi madzhab lain. Untuk kalangan
awam, pengetahuan tentang fikih ibadah disajikan dalam bentuk wirid yang
disebut Rukun Syarat. Pengajian ini membahas hukum-hukum syara’, yang terdiri
dari rukun, syarat, syarat sah, dan syarat wajib, serta yang membatalkan suatu
ibadah menurut mazhab Syafi’i. Observasi pada beberapa surau dan masjid di
Kabupaten Padang Pariaman, di antaranya: (1) Surau Tabek Tanjung
Mutuih, Nagari Koto Dalam Kecamatan Padang Sago, (2) Surau
Kampung Jambak Nagari Sunur Kecamatan Nan Sabaris, (3) Surau Seng
Bukik Gonggang Nagari Campago Kecamatan V Koto Kampung Dalam,
(4) Masjid Darul Hikmah Sago Durian Talang Nagari Gunuang Padang
Alai Kecamatan V Koto Timur, dan lain-lain). Dalam bertashawuf, ulama
Syattariyah mengikuti ajaran guru-guru yang mempunyai silsilah sampai kepada
Syekh Burhanuddin. Untuk masyarakat awam pengajian tashawuf diberikan dalam
bentuk wirid hafalan yang disebut A’yân Khârijiyah-A’yân Tsâbitah. Pengajian
A’yân Khârijiyah-A’yân Tsâbitah merupakan pengajian tashawuf yang membahas
hubungan antara manusia dengan Tuhan.
      Manusia dalam pengajian ini terdiri dari empat unsur, yaitu A’yân Khârijiyah,
A’yân Tsâbitah, Wujûd ’?m, dan Wujûd Muhadh. A’yân Khârijiyah (tubuh kasar,
jasmani) sebagai unsur pertama terdiri dari bulu, kulit, darah, daging, urat, tulang,
otak, benak, hati, jantung, paru-paru, dan buah punggung. Unsur kedua disebut A’yân
Tsâbitah (tubuh yang halus, rohani) yang terdiri dari tujuh sifat yang berfungsi untuk
mendengar, melihat, berbicara, hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak. Unsur
yang kedua ini merupakan tajalli dari tujuh sifat Tuhan sebagai unsur ketiga yang
disebut Wujûd ’?m (Sama’ = Mendengar, Bashar = Melihat, Kalam = Berbicara, Hayat
= Hidup, Ilmu = Mengetahui, Kudrat = Berkuasa, dan Iradat = Berkehendak). Wujûd
’?m merupakan sifat dari Wujûd Muhadh sebagai unsur keempat, itulah wujud Tuhan
yang bernama Allah Deram.
      Dalam memahami hubungan antara Tuhan dan manusia, ulama Syattariyah
mengibaratkan seperti buih, ombak, laut, dan air. Buih pada hakikatnya adalah tajalli
dari ombak, ombak adalah tajalli dari laut, laut tajalli dari air. Begitulah keterkaitan
antara Tuhan dan manusia, A’yân Khârijiyah merupakan buih, A’yân Tsâbitah adalah
ombak, Wujûd ’?m sebagai laut, dan Wujûd Muhadh diibaratkan sebagai  air yang
menjadi hakikat dari semua yang nampak: buih, ombak, dan laut. Buih, ombak, dan
laut “tidak lain, melainkan air semata-mata”.
      Sehubungan dengan keterkaitan antara Tuhan dan manusia, Khatib Deram
menulis sebagai berikut:
   Adapun tarikat itu mangko handaklah kito tanazulkan, yaitu tatkalo berdompak
sifat Jamal dan sifat Jalal sarato meng-khitab io Allah akan kalimah KUN mangko
mambari bakas kudrat jo iradat, mangko tarabitlah Nur daripado Allah, mangko
nur itu menjadi Muhammad, daripado Muhammad tarabit pulo nur, mangko nur itu
manjadi api, cahayo api menjadi sumangek, daripado api tarabit angin, daripado
angin tarabit air, daripado air tarabit tanah. Adapun nan ampek itu, yaitu
dinamokan a’yan kharijiyah, insan basyari pun namonyo, makna insan basyari itu
iyolah nan diliek dengan mato kapalo kito. Tatapi insan basyari itu tiado
bakudarat, tiado mandanga, tiado maliek, tiado barkato, tidak bapangana pado
insan basyari itu. Hanyo nan bakudarat, nan mandanga, nan maliek, nan barkato.
Nan bapangana pado insan basyari itu iyolah a’yan tsabitah, insan hakiki pun
namonyo. Makna insan hakiki itu iyolah nan sabana-bananyo diri kito, itu nan
bakudarat pado urek kito, itu nan mandanga pado talingo kito, itu nan maliek pado
mato kito, itu nan barkato pado lidah kito, itu nan bapangana pado hati kito. Tatapi
insan hakiki itu pun tiado bakudarat, pun tiado mandanga, pun tiado maliek, pun
tiado barkato, pun tiado bapangana. Hanyo nan bakudarat, nan mandanga, nan
maliek, nan barkato, nan bapangana pado insan hakiki itu iyolah mambari bakas
si wujud ’am, makna si wujud ’am itu iyolah sifat Allah yang anam, mano-mano
nan anam, partamu alimu, makna alimu mangatahui Allah Taala akan a’yan
tsabitah, ...dst.

   (Adapun tarekat, hendaklah ditanazulkan, yaitu tatkala bertemu sifat Jamal
dan Jalal, dan Allah mengatakan KUN, maka sifat kudrat dan iradat memberi
bekas, terbitlah nur Allah, nur itu menjadi muhammad, dari muhammad muncul
pula nur yang kemudian menjadi api, dari api lahir angin, dari angin lahir air, dari
air lahir tanah. Unsur yang empat itu disebut a’yan kharijiyah atau insan basyari,
yang nampak oleh mata kepala. Insan basyari itu tidak berkudrat, tidak
mendengar, tidak melihat, tidak berkata, tidak punya ingatan. Yang berkudrat,
yang mendengar, yang melihat, yang berkata, dan yang mengingat pada insan
basyari itu ialah a’yan tsabitah atau insan hakiki, diri kita yang sebenarnya. Itulah
yang punya kudrat di urat kita, yang mendengar pada telinga kita, yang melihat
pada mata kita, yang berkata-kata pada lidah kita, yang mengingat di hati kita.
Tetapi insan hakiki itu pun tidak berkudrat, tidak mendengar, tidak melihat, tidak
berkata, tidak punya ingatan. Yang berkudrat, yang mendengar, yang melihat,
yang berkata, dan yang mengingat pada insan hakiki itu hanyalah Wujud ’Am,
sifat Allah yang enam, pertama ilmu, artinya Allah mengetahui a’yan tsabitah, ....
dst)    
     
      Dalam bidang amaliyah, ulama Syattariyah memiliki ciri khas yang
membedakannya dengan kelompok lain. Seseorang tidak dapat disebut sebagai
ulama maupun pengikut paham Syattariyah jika tidak meyakini dan mengamalkan
amaliyah tersebut. Menurut Duski Samad ada beberapa amaliyah keagamaan yang
menjadi ciri khas pengikut paham Syattariyah, yaitu: (1) Shalat Burha, (2) Shalat 40
hari, (3) Shalat Qadha, (4) Shalat sunat Lailatul Qadar, (5) Keharusan shalat hari raya
di masjid, (6) Puasa dengan melihat bulan dengan perhitungan hisab Taqwim, (7)
Maulid Nabi dengan membaca Syarafal Anam, (8) Haul kematian pada hari ke-1, 2, 3,
7, 14, 40, dan 100, (9) Hadiah pahala tahlil untuk orang tua dan guru, (10) Tahlil
70.000 kalimah untuk menebus si mayat dari siksa neraka, (11) Men-jahar-kan
basmalah ketika membaca fatihah dalam shalat, (12) Bernazar atau berkhaul bila ada
kesulitan dalam hidup, (13) Ratik tolak bala, (14) Bai’at dengan guru, (15) Mengaji
rukun syarat dan sifat 20 setelah bai’at kepada guru, (16)xMengaji tarekat setelah
bai’at, (17) Mengaji martabat tujuh, dan (18)xBasafa pada hari Rabu setelah tanggal
10 setiap bulan Safar.
      Menurut Tuanku Kuning Zubir sebagai ulama terkemuka di kalangan
Syattariyah, ada 20 macam amaliyah yang selalu dipegang teguh ulama Syattariyah.
Kedua puluh masalah tersebut ditulis oleh Tuanku Kuning Zubir dalam buku Syifâ al-
Qulûb fî Izâlat al-Rayb wa al-Taqallub yang terdiri dari 99 halaman. Buku ini
merupakan kutipan dari beberapa kitab yang dijadikan referensi. Kutipan itu memakai
bahasa Arab bertulisan tangan, sedangkan terjemahannya diketik dalam bahasa
Indonesia dan menggunakan huruf Latin. Bila diteliti lebih jauh, buku tersebut
hanyalah kutipan kitab-kitab berbahasa Arab yang kemudian diberi terjemahan oleh
penulisnya tanpa mengemukakan komentar sedikitpun. Dalam mukaddimah buku
tersebut, setelah tahmid dan shalawat, Tuanku Kuniang Zubir menulis sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدُ ، فَهَذِهِ الرِّسَالَةُ الصَّغِيْرَةُ فِيْ تَبْيِيْنِ مَا أَثْبَتَ مَشَائِخُنَا الشَّطَّارِيَّةُ مِنَ الأَعْمَالِ
وَالأَورَادِ وَالأَفْهَامِ ، مُسْتَنْبَطًا مِنَ الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَالْكُتُبُ الْمُعْتَمَدُ عَلَيْهَا....
Artinya: Amma ba’d, Risalah kecil ini menjelaskan amalan-amalan, wirid-wirid, dan
faham yang telah ditetapkan oleh para guru Syattariyah kami, yang diambil
dari Kitab, Sunnah, dan kitab-kitab yang mu’tamad....

      Tuanku Kuniang Zubir mengemukakan 20 macam amaliyah yang selalu
dipegang teguh ulama Syattariyah itu secara berurutan, yaitu: (1)xMenetapkan awal
Ramadhan dan Syawal dengan rukyat hilal, (2)xMenetapkan rukyat hilal dengan Hisab
Taqwim Khamsiyah, (3) Shalat tarawih 20 raka’at dengan 10 salam, (4) Shalat witir
tiga raka’at dengan dua salam, (5) Melafazkan niat sedikit sebelum takbir, (6)
Membaca do’a iftitah, (7)xMembaca basmalah dalam Fatihah dan ayat ketika shalat,
(8) Tasbih pada ruku’ dan sujud tiga kali, (9) Qunut pada raka’at kedua shalat shubuh
sesudah ruku’, (10) Tasbih dan dzikir sesudah shalat fardhu, (11) Khutbah Jum’at dan
dua hariraya dengan bahasa Arab, (12) Dzikir, do’a, dan bacaan Qur’an bermanfaat
bagi orang mukmin yang telah mati, (13) Talqin, (14) Berharum-haruman sebelum
pembacaan do’a arwah, doa qurban dan aqiqah dengan membakar kemenyan, (15)
Ziarah kubur Nabi SAW dan ulama, (16)xTawassul,x(17)xMenutup kepala bagi laki-
laki waktu shalat, (18)xMembesarkan maulud Nabi SAW dengan syair Syarafal Anam,
(19)zMadzhab Syafi’i, (20) Bai’ah. Amaliyah ulama Syattariyah ini dapat dilihat secara
berurutan dalam daftar isi buku Syifâ’ al-Qulûb karangan Tuanku Kuning Zubir.
      Dari hasil kajian terhadap amaliyah ulama Syattariyah di atas, dalam
kaitannya dengan penetapan awal Ramadhan dan Syawal, yang ada relevansinya
dengan penelitian ini adalah penetapan tanggal 01 Ramadhan dan 01 Syawal dengan
melihat bulan sesuai dengan perhitungan taqwim. Taqwim inilah yang membedakan
antara tradisi melihat bulan dengan rukyat hilal yang dilakukan kelompok lain. Setiap
tahun, setidak-tidaknya terdapat perbedaan sehari atau dua hari dalam penetapan
tanggal 01 Ramadhan dan 01 Syawal. Perbedaan itu juga terjadi di kalangan internal
ulama Syattariyah, adakalanya murni berasal dari dalam dan ada pula disebabkan
oleh adanya interaksi dengan pihak luar. Tetapi agaknya kedua faktor itu telah
berakumulasi menjadi satu, sehingga timbul perbedaan dalam pemahaman
keagamaan.
             .Ibid. [Hadis dan terjemahannya dikutip secara utuh].
      
             .Ibid., h. 75
             .Al-Thabarâniy, Al-Mu'jam al-Kabîr, Bab IV, Jilid 12, h. 441, hadis nomor 14555
[http://www.ahlalhdeeth.com]
             .Khatib Deram, Tharîqat Qâla al-Nabiy, Tandikat VII Koto, [tulisan tangan aksara Arab-
Melayu, tidak diterbitkan], h. 8-12
      
             .Amiruddin Tuanku Bagindo, ulama Syattariyah dan mantan Qadhi Nagari Ulakan, di
Pondok Pesantren Syekh Burhanuddin Al-Muhajirin Kampung Kandang Kecamatan Pariaman
Selatan Kota Pariaman, wawancara langsung, 23 Maret 2007
             .Khatib Deram, op.cit., h. 44-46
             .Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau (Syarak Mandaki Adat
Manurun), (Jakarta: The Minangkabau Fondation, 2002), Cet. ke-1, h. 156-159
              Tuanku Kuning Zubir, op.cit., h. 2 [Teks dikutip dari buku Syifâ’ al-Qulûb, terjemahan
dari penulis. Dalam susunan teks, frase الرسالة الصغيرة sebaiknya رسالة صغيرة dalam bentuk nakirah,
bukan ma’rifah yang memakai alif-lâm seperti yang tertulis, sehingga terjemahannya berbunyi:
“Inilah risalah kecil dalam menjelaskan amalan-amalan, wirid-wirid ....” dan seterusnya]. Yang
perlu dikoreksi lagi adalah wa al-kutubu al-mu’tamadu ’alayhâ dalam susunan kalimat [مُسْتَنْبَطًا مِنَ
الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَالْكُتُبُ الْمُعْتَمَدُ عَلَيْهَا] seharusnya wa al-kutubi al-mu’tamadi, karena di’athafkan kepada
kata sebelumnya yang majrûr.




33

20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar